Kamis, 19 Agustus 2010

Amal saleh

Rasulullah saw. bersabda, “Apa yang aku larang terhadap kalian maka tinggalkan dan apa yang aku perintahkan maka laksanakanlah seoptimal mungkin.


Rasulullah saw. bersabda, “Apa yang aku larang terhadap kalian maka tinggalkan dan apa yang aku perintahkan maka laksanakanlah seoptimal mungkin. Karena sesungguhnya yang membinaskan orang-orang sebelum kamu adalah banyak bertanya dan tidak patuh kepada nabi mereka.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Beberapa riwayat menjelaskan sababul-wurud hadis ini. Muhammad bin Ziyad meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. berkhutbah seraya mengatakan, "Wahai manusia, telah diwajibkan kepada kalian haji." Seseorang bertanya, "Apakah tiap tahun, wahai Rasulullah?" Rasulullah saw. berdiam tidak menjawab sampai orang itu mengatakannya hingga tiga kali, lalu beliau bersabda, "Kalau aku katakan 'ya' tentu akan menjadi wajib (haji tiap tahun) dan kalian tidak akan mampu melakukannya." Beliau melanjutkan, "Biarkanlah aku (jangan ditanya) tentang apa yang aku tinggalkan (tidak aku jelaskan). Karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena banyak bertanya dan menyalahi para nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu maka kerjakanlah seoptimal kemampuan kalian dan jika aku melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah."

Dari hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah r.a. dan sababul wurud-nya ini, kita dapat menarik arahan bahwa Islam menghendaki umatnya menjadi manusia produktif dengan amal saleh. Umat ini diliputi permasalahan yang amat kompleks. Dari mulai korupsi yang semakin menggila, kemaksiatan yang semakin demonstratif, pengangguran yang semakin membengkak, dan belum lagi problem-problem yang dicurahkan oleh pihak asing ke dalam negeri kita. Ini semua menuntut penyelesaian yang serius dan penanganan yang penuh kesabaran. Sudah banyak yang bicara tentang pemberantasan korupsi, misalnya. Tapi tataran aplikasinya masih jauh dari yang diharapkan.

Allah telah menurunkan Islam dan mengariskannya sebagai agama kerja (dinul ’amal). Setiap bagian ajaran Islam mengarah pada kerja dan aplikasi nyata. Dan hanya pada saat Islam benar-benar dilaksanakan itulah Islam benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin. Karena hanya dengan cara dilaksanakan itulah Islam menjadi solusi bagi berbagai permasalahan manusia. Oleh karena itu, segala perdebatan, diskusi yang tidak membuahkan amal atau meningkatkan produktivitas, dan tidak pula meningkatkan keimanan adalah tidak sesuai dengan ruh Islam. Dan karenanya ia merupakan sesuatu yang tercela. Betapa banyak problematika yang melilit umat Islam. Ada baiknya kita menyimak apa yang dipesankan oleh salah seorang ulama Mesir, Ustadz Hasan al-Banna, “Setiap masalah yang tidak menjadi pijakan amal, maka membincangkannya adalah merupakan sikap takalluf (memaksa-maksakan), yang -secara syar’i- kita dilarang melakukannya. Di antaranya adalah: memperbanyak perbincangan detil-detil hukum yang tidak secara ril terjadi; mendalami ayat-ayat Al Quran yang belum terjangkau ilmu pengetahuan; membanding-bandingkan keutamaan para sahabat -semoga Allah meridoinya- dengan segala perbedaan pendapat yang terjadi di antara mereka. Masing-masing mereka memperoleh keutamaannya sebagai sahabat dan memperoleh pahala niatnya.”

Masih perlu peningkatan serius dalam mewujudkan produktivitas amal. Namun belum terlambat bagi kita untuk setia terhadap amal, betapa pun kecilnya. Misalnya saja dalam konteks penegakan syari’at Islam. Apa makna ingar bingar gembar-gembor penegakan syari’at Islam bila tidak ada keseriusan untuk melaksanakannya dari mulai tataran individu dan dari hal-hal yang detik ini sudah bisa dilaksanakan?

Ini semakin menegaskan pentingnya kita menjaga diri dari keterjebakan dalam hal-hal yang tidak produktif bahkan menambahkan persoalan baru terhadap persoalan lama yang belum juga terpecahkan. Ustadz Hasan al-Banna meberikan beberapa contoh perilaku yang tidak produktif, antara lain:

1. Perdebatan yang tidak membuahkan amal
Sudah saatnya kita mulai mengoreksi diri, lebih-lebih bila kita mengingat kondisi umat Islam yang amat memprihatinkan ini. Kita evaluasi: adakah debat-debat, diskusi-diskusi, atau perbincangan apa pun mengarahkan kita pada peningkatan kualitas keislaman: hati semakin khusyu’ dan tunduk; iman semakin kokoh; dan amal nyata semakin besar. Ini perlu dilakukan karena dikhawatirkan segala perbincangan kita termasuk perdebatan yang menyesatkan. Rasulullah saw. pernah mengingatkan, “Tidak satu kaum tersesat setelah ia memperoleh petunjuk kcuali jika ia diberi (kesenangan) berdebat.” Perdebatan sering kali dirasakan mengasyikkan oleh sebagian kalangan. Lebih-lebih jika dalam perdebatan itu ia mampu menumbangkan lawan. Karenanya Allah swt. memberikan contoh bagaimana mengarahkan sebuah perbincangan yang berpotensi menjadi perdebatan menjadi terarah pada amal nyata. Al Quran surat Al Baqarah (2) ayat 189 merekam pertanyaan orang Arab tentang bulan sabit,

يسألونك عن الأهلة قل هي مواقيت للناس والحج

وليس البر بأن تأتوا البيوت من ظهورها

ولكن البر من اتقى وأتوا البيوت من أبوابها واتقوا الله لعلكم تفلحون



“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.’”

Mereka bertanya tentang bulan sabit, jawaban Al Quran tidak memperturutkan retorika penanya. Pertanyaan penanya mengarah pada, “Mengapa bulan sabit itu mula-mula tampak halus bagaikan benang kemudian bertambah penuh hingga menjadi purnama. Dan lalu kembali seperti semula?”

Sebetulnya pertanyaan tersebut dapat saja dijawab secara ilmiah. Rasulullah saw. dapat menjelaskannya berdasarkan informasi dari Allah swt. Akan tetapi Allah mengarahkan bahwa yang paling bermanfaat untuk orang-orang yang hidup saat itu ialah apa yang harus atau sebaiknya dilakukan terkait dengan bulan sabit. Di samping, tentu saja faktor kesiapan untuk memahami gejala alam seperti itu menjadi pertimbangan penting.

Termasuk sikap memberatkan diri sendiri (takalluf) bila kita membincangkan masalah qadha dan qadar melebihi apa yang terkait dengan hal yang bisa dan harus kita lakukan. Karena Rasulullah saw. dan para sahabatnya telah memberi contoh dalam mengimani qadha dan qadar. Mereka percaya sepenuhnya bahwa tidak ada satu peristiwa pun di dunia yang berada di luar ketentuan Allah. Namun mereka pun bekerja, berusaha, dan berjuang untuk mencapai apa yang mereka inginkan. Mereka juga yakin bahwa petunjuk (hidayah) ada di tangan Allah. Namun mereka terus berdakwah untuk menyampaikan kebenaran itu. Oleh karena itu para sahabat tidak terpancing untuk memperdebatkan qadha dan qadar ini. Dikisahkan bahwa Umar bin Khattab bertanya kepada seorang pencuri. Si pencuri mengatakan, “Saya mencuri karena qadha dan qadar Allah.” Maka Umar pun menjawab, “Dan saya memotong tanganmu karena qadha dan qadar Allah.”

2. Menyelami ayat Al Quran yang belum terjangkau ilmu pengetahuan
Al Quran diturunkan bukanlah sebagai kitab sains dan teknologi melainkan sebagai hidayah, petunjuk bagi manusia menuju jalan kebahagian dunia dan akhirat. Kitab Allah itu memang memuat sejumlah informasi dan isyarat saintis. Akan tetapi informasi dan isyarat-isyarat itu berfungsi “sekadar” memberikan bukti bahwa Al Quran bukanlah hasil daya cipta manusia. Ia datang dari Yang Maha Pencipta dan Maha Mengetahui. Oleh karena itu, orang yang belum mampu menjadikannya sebagai petunjuk kehidupan, meskipun dia telah menyerap banyak manfaat dari informasi dan isyarat saintis dari Al Quran itu, belumlah berinteraksi dengan Al Quran. Apalagi orang yang hanya memperdebatkan dan mengotak-atik ayat-ayat tertentu untuk sekadar tamattu’ ‘aqli (kenikmatan akal). Ia tidak memperoleh ilmu apa pun yang mendukung teknologi; tidak mendapatkan hidayah darinya; dan tidak pula meningkatkan amal. Lebih rusak lagi orang-orang yang mengotak-atik Al Quran demi membahagiakan pihak-pihak kafir yang memang tidak senang melihat bangkitnya umat Islam.

3. Membanding-bandingkan keutamaan sahabat
Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian (generasi) sesudahnya, kemudian (generasi) sesudahnya.” (H.R. Bukhari)

Membanding-bandingkan keutamaan sahabat terlebih lagi disertai dengan pendiskreditan adalah perbuatan yang membuang-buang waktu dan bahkan bisa menjerumuskan –mungkin tanpa disadari— pada penolakan beberapa ayat Al Quran. Allah swt. telah menegaskan pujian untuk mereka,

لقد رضي الله عن المؤمنين إذ يبايعونك تحت الشجرة

“Sungguh Allah telah rido kepada mukminin ketika mereka berbai’at kepadamu (Rasul) di bawah pohon itu.” (Q.S. Al Fath 48: 18)

Keutamaan setiap sahabat sebagaimana yang dicatat dalam kitab-kitab sirah adalah benar adanya. Namun hal itu bukan untuk mengurangi rasa hormat kita kepada sahabat tertentu karena kekurangannya –sebagai manusia— atau karena kekeliruan tertentu. Demikian pula dengan pilihan-pilihan mereka dalam bersikap –yang kemudia ternyata menimbulkan konflik, tidak lebih dari hasil ijtihad. Sehubungan dengan itu, Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah mengatakan,
“Kita berpegang teguh pada sikap menahan diri dari (membincangkan) konflik antara mereka. Kita tahu bahwa sebagian riwayat tentang itu adalah dusta belaka. Mereka berijtihad. Imma ijtihad mereka benar dan mereka dapat dua pahala. Atau mereka mendapat pahala atas amal saleh mereka dan diampuni segala kesalahannya. Atau mereka diampuni dengan taubat mereka, atau dengan kebaikan-kebaikan yang menghapuskan keburukan, atau dengan musibah yang menutup dosa-dosa, atau yang lainnya. Mereka adalah generasi terbaik umat ini.”

Sungguh sangat memprihatinkan jika umat ini lebih suka membebek kepada bangsa lain dalam hal-hal yang seharusnya melakukan pengembangan dan inovasi. Sebaliknya, untuk kawasan yang siap aplikasi –misalnya ibadah— malah menyuburkan perdebatan dan improvisasi. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar