Jumat, 20 Agustus 2010

birrul walidain 1

Berbakti Kepada Kedua Orang Tua
MAKNA "AL BIRR"

Al Birr yaitu kebaikan, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam (artinya) : "Al Birr adalah baiknya akhlaq". (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya Nomor 1794).
Al Birr merupakan haq kedua orang tua dan kerabat dekat, lawan dari Al ‘Uquuq yaitu kejelekan dan menyia-nyiakan haq..

"Al Birr adalah mentaati kedua orang tua didalam semua apa yang mereka perintahkan kepada engkau, selama tidak bermaksiat kepada Allah, dan Al ‘Uquuq dan menjauhi mereka dan tidak berbuat baik kepadanya."  (Disebutkan dalam kitab Ad Durul Mantsur 5/259)
Berkata Urwah bin Zubair mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua tentang firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): "Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan." (QS. Al Isra’ : 24). Yaitu: "Jangan sampai mereka berdua tidak ditaati sedikitpun".  (Ad Darul Mantsur 5/259)

Berkata Imam Al Qurtubi mudah-mudahan Allah merahmatinya: "Termasuk ‘Uquuq (durhaka) kepada orang tua adalah menyelisihi/ menentang keinginan-keinginan mereka dari (perkara-perkara) yang mubah, sebagaimana Al Birr (berbakti) kepada keduanya adalah memenuhi apa yang menjadi keinginan mereka. Oleh karena itu, apabila salah satu atau keduanya memerintahkan sesuatu, wajib engkau mentaatinya selama hal itu bukan perkara maksiat, walaupun apa yang mereka perintahkan bukan perkara wajib tapi mubah pada asalnya, demikian pula apabila apa yang mereka perintahkan adalah perkara yang mandub (disukai/ disunnahkan). (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an Jil 6 hal 238).

Berkata Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah mudah-mudahan Allah merahmatinya: Berkata Abu Bakr di dalam kitab Zaadul Musaafir "Barangsiapa yang menyebabkan kedua orang tuanya marah dan menangis, maka dia harus mengembalikan keduanya agar dia bisa tertawa (senang) kembali". (Ghadzaul Al Baab 1/382).

HUKUM BIRRUL WALIDAIN

Para Ulama’ Islam sepakat bahwa hukum berbuat baik (berbakti) pada kedua orang tua hukumnya adalah wajib, hanya saja mereka berselisih tentang ibarat-ibarat (contoh pengamalan) nya.

Berkata Ibnu Hazm, mudah-mudahan Allah merahmatinya: "Birul Walidain adalah fardhu (wajib bagi masing-masing individu). Berkat beliau dalam kitab Al Adabul Kubra: Berkata Al Qodli Iyyad: "Birrul walidain adalah wajib pada selain perkara yang haram." (Ghdzaul Al Baab 1/382)

Dalil-dalil Shahih dan Sharih (jelas) yang mereka gunakan banyak sekali , diantaranya:

1. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): "Sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua Ibu Bapak". (An Nisa’ : 36).

Dalam ayat ini (berbuat baik kepada Ibu Bapak) merupakan perintah, dan perintah disini menunjukkan kewajiban, khususnya, karena terletak setelah perintah untuk beribadah dan meng-Esa-kan (tidak mempersekutukan) Allah, serta tidak didapatinya perubahan (kalimat dalam ayat tersebut) dari perintah ini. (Al Adaabusy Syar’iyyah 1/434).

2. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): "Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya". (QS. Al Isra’: 23).

Adapun makna ( qadhoo ) = Berkata Ibnu Katsir : yakni, mewasiatkan. Berkata Al Qurthubiy : yakni, memerintahkan, menetapkan dan mewajibkan. Berkata Asy Syaukaniy: "Allah memerintahkan untuk berbuat baik pada kedua orang tua seiring dengan perintah untuk mentauhidkan dan beribadah kepada-Nya, ini pemberitahuan tentang betapa besar haq mereka berdua, sedangkan membantu urusan-urusan (pekerjaan) mereka, maka ini adalah perkara yang tidak bersembunyi lagi (perintahnya). (Fathul Qodiir 3/218).

3. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): "Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang Ibu Bapanya, Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang Ibu Bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu." (QS. Luqman : 14).

Berkata Ibnu Abbas mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua "Tiga ayat dalam Al Qur’an yang saling berkaitan dimana tidak diterima salah satu tanpa yang lainnya, kemudian Allah menyebutkan diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya) : "Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang Ibu Bapakmu", Berkata beliau. "Maka, barangsiapa yang bersyukur kepada Allah akan tetapi dia tidak bersyukur pada kedua Ibu Bapaknya, tidak akan diterima (rasa syukurnya) dengan sebab itu." (Al Kabaair milik Imam Adz Dzahabi hal 40).

Berkaitan dengan ini, Rasulullah Shalallahu’Alaihi Wassallam bersabda (artinya) : "Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua dan kemurkaan Rabb (Allah) ada pada kemurkaan orang tua"  (Riwayat Tirmidzi dalam Jami’nya (1/ 346), Hadits ini Shohih, lihat Silsilah Al Hadits Ash Shahiihah No. 516).

4. Hadits Al Mughirah bin Syu’bah - mudah-mudahan Allah meridhainya, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam beliau bersabda (artinya): "Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian mendurhakai para Ibu, mengubur hidup-hidup anak perempuan, dan tidak mau memberi tetapi meminta-minta (bakhil) dan Allah membenci atas kalian (mengatakan) katanya si fulan begini si fulan berkata begitu (tanpa diteliti terlebih dahulu), banyak bertanya (yang tidak bermanfaat), dan membuang-buang harta".  (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1757).

KEUTAMAAN BIRRUL WALIDAIN

Pertama : Termasuk Amalan Yang Paling Mulia

Dari Abdullah bin Mas’ud mudah-mudahan Allah meridhoinya dia berkata : Saya bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam: Apakah amalan yang paling dicintai oleh Allah?, Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam: "Sholat tepat pada waktunya", Saya bertanya : Kemudian apa lagi?, Bersabada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam "Berbuat baik kepada kedua orang tua". Saya bertanya lagi : Lalu apa lagi?, Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : "Berjihad di jalan Allah". (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya).

Kedua : Merupakan Salah Satu Sebab-Sebab Diampuninya Dosa

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (artinya): "Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya….", hingga akhir ayat berikutnya : "Mereka itulah orang-orang yang kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga. Sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka." (QS. Al Ahqaf 15-16)

Diriwayatkan oleh ibnu Umar mudah-mudahan Allah meridhoi keduanya bahwasannya seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan berkata : Wahai Rasulullah sesungguhnya telah menimpa kepadaku dosa yang besar, apakah masih ada pintu taubat bagi saya?, Maka bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Apakah Ibumu masih hidup?", berkata dia : tidak. Bersabda beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Kalau bibimu masih ada?", dia berkata : "Ya" . Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Berbuat baiklah padanya". (Diriwayatkan oleh Tirmidzi didalam Jami’nya dan berkata Al ‘Arnauth : Perawi-perawinya tsiqoh. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim. Lihat Jaami’ul Ushul (1/ 406).

Ketiga : Termasuk Sebab Masuknya Seseorang Ke Surga

Dari Abu Hurairah, mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata : Saya mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: "Celakalah dia, celakalah dia", Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya : Siapa wahai Rasulullah?, Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Orang yang menjumpai salah satu atau kedua orang tuanya dalam usia lanjut kemudian dia tidak masuk surga". (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1758, ringkasan).

Dari Mu’awiyah bin Jaahimah mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua, Bahwasannya Jaahimah datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian berkata : "Wahai Rasulullah, saya ingin (berangkat) untuk berperang, dan saya datang (ke sini) untuk minta nasehat pada anda. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : "Apakah kamu masih memiliki Ibu?". Berkata dia : "Ya". Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Tetaplah dengannya karena sesungguhnya surga itu dibawah telapak kakinya". (Hadits Hasan diriwayatkan oleh Nasa’i dalam Sunannya dan Ahmad dalam Musnadnya, Hadits ini Shohih. (Lihat Shahihul Jaami No. 1248)

Keempat : Merupakan Sebab keridhoan Allah

Sebagaiman hadits yang terdahulu "Keridhoan Allah ada pada keridhoan kedua orang tua dan kemurkaan-Nya ada pada kemurkaan kedua orang tua".

Kelima : Merupakan Sebab Bertambahnya Umur

Diantarnya hadit yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : "Barangsiapa yang suka Allah besarkan rizkinya dan Allah panjangkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung silaturrahim".

Keenam : Merupakan Sebab Barokahnya Rizki

Dalilnya, sebagaimana hadits sebelumnya.
http://sofyan.phpnet.us/index.php/adab/738--adab-birrul-waalidain-berbakti-kepada-kedua-orang-tua.html


ADAB BIRRUL WAALIDAIN
(BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA)
Kedua orang tua adalah manusia yang paling berjasa dan utama bagi diri seseorang. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan dalam berbagai tempat di dalam Al-Qur'an agar berbakti kepada kedua orang tua. Allah menyebutkannya berbarengan dengan pentauhidan-Nya Azza wa Jalla dan memerintahkan para hamba-Nya untuk melaksanakannya sebagaimana akan disebutkan kemudian.

Hak kedua orang tua merupakan hak terbesar yang harus dilaksanakan oleh setiap Muslim. Di sini akan dicantumkan beberapa adab yang berkaitan dengan masalah ini. Antara lain hak yang wajib dilakukan semasa kedua orang tua hidup dan setelah meninggal. Dengan pertolongan Allah saya akan sebutkan beberapa adab tersebut, antara lain:


HAK-HAK YANG WAJIB DILAKSANAKAN SEMASA ORANG TUA MASIH HIDUP

Di antara hak orang tua ketika masih hidup adalah:

1. Mentaati Mereka Selama Tidak Mendurhakai Allah

Mentaati kedua orang tua hukumnya wajib atas setiap Muslim. Haram hukumnya mendurhakai keduanya. Tidak diperbolehkan sedikit pun mendurhakai mereka berdua kecuali apabila mereka menyuruh untuk menyekutukan Allah atau mendurhakai-Nya.

Allah Subhanahu wa TA'ala berfirman:
"Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya..." (QS. Luqman: 15)

Tidak boleh mentaati makhluk untuk mendurhakai Allah, Penciptanya, sebagaimana sabda Rasululah shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Tidak ada ketaatan untuk mendurhakai Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam melakukan kebaikan." (HR. Bukhari no. 4340, 7145, 7257, dan Muslim no. 1840, dari Ali radhiyallahu 'anhu)

Adapun jika bukan dalam perkara yang mendurhakai Allah, wajib mentaati kedua orang tua selamanya dan ini termasuk perkara yang paling diwajibkan. Oleh karena itu, seorang Muslim tidak boleh mendurhakai apa saja yang diperintahkan oleh kedua orang tua.


2. Berbakti dan Merendahkan Diri di Hadapan Kedua Orang Tua

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:
"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tua ibu bapaknya..." (QS. Al-Ahqaaf: 15)

"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang tua ibu bapak..." (QS. An-Nisaa': 36)

Perintah berbuat baik ini lebih ditegaskan jika usia kedua orang tua semakin tua dan lanjut hingga kondisi mereka melemah dan sangat membutuhkan bantuan dan perhatian dari anaknya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan Rabb-mu telah memerintahkan supaya kami jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: 'Wahai, Rabb-ku, kasihilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.'" (QS. Al-Israa': 23-24)

Di dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sungguh merugi, sungguh merugi, dan sungguh merugi orang yang mendapatkan kedua orang tuanya yang sudah renta atau salah seorang dari mereka kemudian hal itu tidak dapat memasukkannya ke dalam Surga." (HR. Muslim no. 2551, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)

Di antara bakti terhadap kedua orang tua adalah menjauhkan ucapan dan perbuatan yang dapat menyakiti kedua orang tua, walaupun dengan isyarat atau dengan ucapan 'ah'. Termasuk berbakti kepada keduanya ialah senantiasa membuat mereka ridha dengan melakukan apa yang mereka inginkan, selama hal itu tidak mendurhakai Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana yang telah disebutkan.

3. Merendahkan Diri Di Hadapan Keduanya

Tidak boleh mengeraskan suara melebihi suara kedua orang tua atau di hadapan mereka berdua. Tidak boleh juga berjalan di depan mereka, masuk dan keluar mendahului mereka, atau mendahului urusan mereka berdua. Rendahkanlah diri di hadapan mereka berdua dengan cara mendahulukan segala urusan mereka, membentangkan dipan untuk mereka, mempersilakan mereka duduk di tempat yang empuk, menyodorkan bantal, janganlah mendului makan dan minum, dan lain sebagainya.

4. Berbicara Dengan Lembut Di Hadapan Mereka

Berbicara dengan lembut merupakan kesempurnaan bakti kepada kedua orang tua dan merendahkan diri di hadapan mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"...Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (QS. Al-Israa': 23)

Oleh karena itu, berbicaralah kepada mereka berdua dengan ucapan yang lemah lembut dan baik serta dengan lafazh yang bagus.

5. Menyediakan Makanan Untuk Mereka

Menyediakan makanan juga termasuk bakti kepada kedua orang tua, terutama jika ia memberi mereka makan dari hasil jerih payah sendiri. Jadi, sepantasnya disediakan untuk mereka makanan dan minuman terbaik dan lebih mendahulukan mereka berdua daripada dirinya, anaknya, dan istrinya.

6. Meminta Izin Kepada Mereka Sebelum Berjihad dan Pergi Untuk Urusan Lainnya

Izin kepada orang tua diperlukan untuk jihad yang belum ditentukan. Seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan bertanya: "Ya, Raslullah, apakah aku boleh ikut berjihad?" Beliau balik bertanya: "Apakah kamu masih mempunyai kedua orang tua?" Laki-laki itu menjawab: "Masih." Beliau bersabda: "Berjihadlah (dengan cara berbakti) kepada keduanya." (HR. Bukhari no. 3004, 5972, dan Muslim no. 2549, dari Ibnu 'Amr radhiyallahu 'anhu)

Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata: "Aku datang membai'atmu untuk hijrah dan tinggalkan kedua orang tuaku menangisi (kepergianku). Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Pulanglah dan buatlah mereka tertawa sebagaimana kamu telah membuat mereka menangis." (HR. Abu Dawud no. 2528, an-Nasa-i, VII/143, Ibnu Majah no. 2782, dari Ibnu 'Amr radhiyallahu 'anhu. Lihat kitab Shahiih Abi Dawud no. 2205)

Seorang laki-laki hijrah dari negeri Yaman lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepadanya: "Apakah kamu masih mempunyai kerabat di Yaman?" Laki-laki itu menjawab: "Masih, yaitu kedua orang tuaku." Beliau kembali bertanya: "Apakah mereka berdua mengizinkanmu?" Laki-laki itu menjawab: "Tidak." Lantas, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Kembalilah kamu kepada mereka dan mintalah izin dari mereka. Jika mereka mengizinkan, maka kamu boleh ikut berjihad, namun jika tidak, maka berbaktilah kepada keduanya." (HR. Ahmad, III/76; Abu Dawud no. 2530; al-Hakim, II/103, 103, dan ia menshahihkannya serta disetujui oleh Adz-Dzahabi dari Abu Sa'id radhiyallahu 'anhu. Lihat kitab Shahihh Abu Dawud no. 2207)

Seorang laki-laki berkata kepada beliau: "Aku membai'at anda untuk berhijrah dan berjihad semata-mata hanya mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala." Beliau bersabda kepada laki-laki tersebut: "Apakah salah satu kedua orang tuamu masih hidup?" Laki-laki itu menjawab: "Masih, bahkan keduanya masih hidup." Beliau kembali bersabda: "Apakah kamu ingin mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala?" Laki-laki itu menjawab: "Ya." Kemudian, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Kembalilah kamu kepada kedua orang tuamu dan berbaktilah kepada keduanya." (HR. Muslim no. 2549, dari Ibnu 'Amr radhiyallahu 'anhu)

7. Memberikan Harta Kepada Orang Tua Menurut Jumlah Yang mereka Inginkan

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda kepada seorang laki-laki ketika ia berkata: "Ayahku ingin mengambil hartaku." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Kamu dan hartamu milik ayahmu." (HR. Ahmad, II/204, Abu Dawud no. 3530, dan Ibnu Majah no. 2292, dari Ibnu 'AMr radhiyallahu 'anhu. Hadits ini tertera dalam kitab Shahiihul Jaami no. 1486)

Oleh sebab itu, hendaknya seseorang jangan bersikap bakhil (kikir) terhadap orang yang menyebabkan keberadaan dirinya, memeliharanya ketika kecil dan lemah, serta telah berbuat baik kepadanya.

8. Membuat Keduanya Ridha Dengan Berbuat Baik Kepada Orang-orang yang Dicintai Mereka

Hendaknya seseorang membuat kedua orang tua ridha dengan berbuat baik kepada para saudara, karib kerabat, teman-teman, dan selain mereka. Yakni, dengan memuliakan mereka, menyambung tali silaturrahim dengan mereka, menunaikan janji-janji (orang tua) kepada mereka. Akan disebutkan nanti beberapa hadits yang berkaitan dengan masalah ini.

9. Memenuhi Sumpah Kedua Orang Tua

Apabila kedua orang tua bersumpah kepada anaknya untuk suatu perkara tertentu yang di dalamnya tidak terdapat perbuatan maksiat, maka wajib bagi seorang anak untuk memenuhi sumpah keduanya karena itu termasuk hak mereka.


10. Tidak Mencela Orang Tua atau Tidak Menyebabkan Mereka Dicela Orang Lain

Mencela orang tua dan menyebabkan mereka dicela orang lain termasuk salah satu dosa besar. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Termasuk dosa besar adalah seseorang mencela orang tuanya." Para Sahabat bertanya: "Ya, Rasulullah, apa ada orang yang mencela orang tuanya?" Beliau menjawab: "Ada. Ia mencela ayah orang lain kemudian orang itu membalas mencela orang tuanya. Ia mencela ibu orang lain lalu orang itu membalas mencela ibunya." (HR. Bukhari no. 5973 dan Muslim no. 90, dari Ibnu 'Amr radhiyallahu 'anhu)

Perbuatan ini merupakan perbuatan dosa yang paling buruk.

Orang-orang sering bergurau dan bercanda dengan melakukan perbuatan yang sangat tercela ini. Biasanya perbuatan ini muncul dari orang-orang rendahan dan hina. Perbuatan seperti ini termasuk dosa besar sebagaimana yang telah disebutkan.

11. Mendahulukan Berbakti Kepada Ibu Daripada Ayah

Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Siapa yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?" Beliau menjawab: "Ibumu." Laki-laki itu bertanya lagi: "Kemudian siapa lagi?" Beliau kembali menjawab: "Ibumu." Laki-laki itu kembali bertanya: "Lalu siapa lagi?" Beliau kembali menjawab: "Ibumu." Lalu siapa lagi?" tanyanya. "Ayahmu," jawab beliau." (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)

Hadits di atas tidak bermaksud lebih mentaati ibu daripada ayah. Sebab, mentaati ayah lebih didahulukan jika keduanya menyuruh pada waktu yang sama dan dibolehkan dalam syari'at. Alasannya, ibu sendiri diwajibkan untuk taat pada suaminya, yaitu ayah anaknya. Hanya saja, jika salah seorang dari mereka menyuruh berbuat taat dan yang lain menyuruh berbuat maksiat, maka wajib untuk mentaati yang pertama.

Maksud lebih mendahulukan berbuat baik kepada ibu, yaitu lebih bersikap lemah-lembut, lebih berperilaku baik, dan memberikan sikap yang lebih halus daripada ayah. Hal ini apabila keduanya berada di atas kebenaran.

Sebagian salaf berkata: "Hak ayah lebih besar dan hak ibu patut untuk dipenuhi."

Demikian penjelasan umum hak-hak orang tua semasa mereka masih hidup.


HAK-HAK ORANG TUA SETELAH MEREKA MENINGGAL DUNIA

Di antara hak orang tua setelah mereka meninggal adalah:

1. Menshalati Keduanya

Maksud menshalati di sini adalah mendo'akan keduanya. Yakni, setelah keduanya meninggal dunia, karena ini termasuk bakti kepada mereka. Oleh karena itu, seorang anak hendaknya lebih sering mendo'akan kedua orang tuanya setelah mereka meninggal daripada ketika masih hidup. Apabila anak itu mendo'akan keduanya, niscaya kebaikan mereka berdua akan semakin bertambah, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Apabila manusia sudah meninggal, maka terputuslah amalannya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo'akan dirinya." (HR. Muslim no. 1631 dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)

2. Beristighfar Untuk Mereka Berdua

Orang tua adalah orang yang paling utama bagi seorang Muslim untuk dido'akan agar Allah mengampuni mereka karena kebaikan mereka karena kebaikan mereka yang besar. Allah Subhanahu wa TA'ala menceritakan kisah Ibrahim Alaihissalam dalam Al-Qur'an:
"Ya, Rabb kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku..." (QS. Ibrahim: 41)

3. Menunaikan Janji Kedua Orang TUa

Hendaknya seseorang menunaikan wasiat kedua orang tua dan melanjutkan secara berkesinambungan amalan-amalan kebaikan yang dahulu pernah dilakukan keduanya. Sebab, pahala akan terus mengalir kepada mereka berdua apabila amalan kebaikan yang dulu pernah dilakukan dilanjutkan oleh anak mereka.

4. Memuliakan Teman Kedua Orang Tua

Memuliakan teman kedua orang tua juga termasuk berbuat baik pada orang tua, sebagaimana yang telah disebutkan. Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu pernah berpapasan dengan seorang Arab Badui di jalan menuju Makkah. Kemudian, Ibnu Umar mengucapkan salam kepadanya dan mempersilakannya naik ke atas keledai yang ia tunggangi. Selanjutnya, ia juga memberikan sorbannya yang ia pakai. Ibnu Dinar berkata: "Semoga Allah memuliakanmu. Mereka itu orang Arab Badui dan mereka sudah biasa berjalan." Ibnu Umar berkata: "Sungguh dulu ayahnya teman Umar bin al-Khaththab dan aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya bakti anak yang terbaik ialah seorang anak yang menyambung tali persahabatan dengan keluarga teman ayahnya setelah ayahnya tersebut meninggal." (HR. Muslin no. 2552 dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu)

5. Menyambung Tali Silaturahim Dengan Kerabat Ibu dan Ayah

Hendaknya seseorang menyambung tali silaturahim dengan semua kerabat yang silsilah keturunannya bersambung dengan ayah dan ibu, seperti paman dari pihak ayah dan ibu, bibi dari pihak ayah dan ibu, kakek, nenek, dan anak-anak mereka semua. Bagi yang melakukannya, berarti ia telah menyambung tali silaturahim kedua orang tuanya dan telah berbakti kepada mereka. Hal ini berdasarkan hadits yang telah disebutkan dan sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Barang siapa ingin menyambung silaturahim ayahnya yang ada di kuburannya, maka sambunglah tali silaturahim dengan saudara-saudara ayahnya setelah ia meninggal." (HR. Ibnu Hibban no. 433 dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu. Hadits ini tertera dalam kitab Shahiihul Jaami' no. 5960)

Demikianlah akhir dari adab berbakti kepada kedua orang tua yang telah dimudahkan Allah kepadaku untuk menuliskannya, yang seluruhnya berjumlah enam belas adab. Walhamdulillaahi Rabbil 'aalamiin.*

Referensi tambahan: Shahiih Muslim (IV/1974) dan halaman setelahnya, Fathul Baari (X/414) dan halaman setelahnya, al-Ihsan bi Tattiibi Shahiih Ibni Hibban (I/315) dan halaman setelahnya, al-Aadaab karya al-Baihaqi (hlm.5) dan halaman setelahnya, al-Aadaab asy-Syar'iyyah karya Ibnu Muflih (I/433) dan halaman setelahnya, Ihyaa' Uluumuddin karya al-Ghazali (II/216) dan halaman setelahnya, Birrul Waalidain karya ath-Thurthusi, dan lain-lain.

Dikutip langsung dari Ensiklopedi Adab Islam Menurut AL-Qur'an dan As-Sunnah, Jilid I, karya Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i, cetakan pertama Agustus 2007, hlm. 171-179).

Sumber: salafy.or.id

Birrul Walidain 2

BIRRUL WALIDAIN (Berbakti Kepada Kedua Orang Tua)
Berbakti pada kedua orang tua adalah sebuah kewajiban yang sangat luhur dan mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala seringkali menyandingkan perintah berbakti pada orang tua dengan perintah mengesakan-Nya. Ini menunjukkan agungnya hak kedua ibu bapak. Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu pernah bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:
اَيُّ اْلأَعْماَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا. قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ. قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ؟ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Amalan apa yang paling utama?” Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Mengerjakan shalat tepat pada waktunya.” Aku bertanya lagi, “Kemudian apalagi?” Beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Lalu aku bertanya lagi, “Kemudian apalagi?” Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah.”[1]
Birrul walidain kita buktikan dengan berusaha membalas jasa kedua orang tua kita meskipun tiada sebanding dengan jerih payah yang telah mereka berikan dalam mengasuh kita.
Dan berbakti kepada orang tua merupakan jalan menuju surga.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda:
رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا فَلَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ
“Sungguh merugi, sungguh merugi dan sungguh merugi orang yang masih memiliki kedua orang tua yang sudah renta atau salah seorang dari keduanya kemudian hal itu tidak dapat memasukkan ia ke dalam surga.”[2]
Abu Darda’ t berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الْوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ فَإِنْ شِئْتَ فَأَضِعْ ذَلِكَ الْبَابَ أَوِ احْفَظْهُ
“Orang tua adalah bagian tengah pintu Jannah. Jika engkau mau silakan menyia-nyiakannya, jika tidak maka jagalah pintu itu.”[3]
Salah satu bukti kebaktian kita pada kedua orang tua adalah dengan mendoakan dan memohon ampunan bagi keduanya.
Sesungguhnya kedua orang tua kita sangat mengharapkan doa dan istighfar kita untuk mereka. Terlebih lagi bila keduanya sudah tiada. Doa seorang anak kepada orang tuanya merupakan bukti bahwa ia menyayangi kedua orang tuanya, mensyukuri kebaikan keduanya, atas segala jerih payah keduanya dalam mengasuh kita dengan tekun dan sabar, menghidupi kita sehingga tumbuh menjadi manusia yang dewasa. Semua itu harus kita syukuri dan berusaha untuk membalasnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqmaan: 14).
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ لاَ يَشْكُرُ اللهَ
“Barangsiapa tidak berterima kasih kepada manusia berarti ia juga tidak bersyukur kepada Allah.”[4]
Ingatlah, betapa besar jasa kedua orang tua dalam mengasuh kita. Khususnya, ibu yang telah mengandung dan melahirkan kita dengan susah payah, mengasuh dan membesarkan kita tanpa rasa bosan dan jenuh. Ayah yang telah banting tulang mencari nafkah, tak kenal lelah siang dan malam. Keduanya dengan sabar mengurus segala kebutuhan kita. Maka dari itu, Rasulullah e menjadikan ridha keduanya sebagai tanda keridhaan Allah atas seorang hamba.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
رِضَى اللهِ فِي رِضَاءِ الوَالِدِ وَ سَخَطُ اللهِ فِي سَخَطِ الوَالِدِ
“Ridha Allah pada ridha orang tua dan kemarahan Allah pada kemarahan orang tua.”
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan hal itu kepada kita dalam firman-Nya:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibubapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.” (QS. Luqmaan: 14).
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaaf: 15).
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang kebaktian Nabi Isa ‘Alaihis Salam kepada ibunya:
“Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32).
Oleh karena itu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menempatkan durhaka pada orang tua termasuk salah satu dosa besar sesudah syirik. Diriwayatkan dari Abu Bakrah Nufai’ bin Al-Harits Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلاَثًا؟ قُلْنَا: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ: أَلاَ وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّور
“Maukah kalian aku tunjukkan tiga dosa yang terbesar?” Kami berkata: “Tentu saja ya Rasulullah.” Beliau bersabda: “Menyekutukan Allah, durhaka terhadap kedua orang tua.” Saat itu beliau bersandar lalu beliau duduk dan berkata: “Ketahuilah dosa perkataan palsu dan persaksian palsu.”[5]

SOAL KERJASAMA DALAM EKONOMI ISLAM

UJI KOMPETENSI

A. Berilah tanda silang (x) pada salah satu jawaban yang benar di bawah ini!
1. Suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan disebut:
a. Syirkah
b. Syurthah
c. Tafakul
d. Qardh
e. Syuruth

2. Berikut ini adalah rukun syirkah, kecuali:
a. ‘Aqidani
b. Ijab- qabul
c. Ma’qud ‘alaihi
d. Ma’qud lahu
e. A, b, dan c benar

3. Syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing- masing memberi kontribusi kerja (‘amal) dan modal (mal) disebut:
a. Syirkah ‘abdan
b. Syirkah wujuh
c. Syirkah ‘inan
d. Syirkah Mufawadhah
e. Syirkah Muqarabah

4. Syirkah yang didasarkan pada kedudukan, kekokohan, atau keahlian seseorang di tengah masyarakat disebut:
a. Syirkah ‘abdan
b. Syirkah wujuh
c. Syirkah ‘inan
d. Syirkah Mufawadhah
e. Semua jawaban salah

5. Akad kerjasama usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola atau pengusaha disebut:
a. Muzara’ah
b. Musaqah
c. Mukhabarah
d. Mudharabah
e. Muqarabah

6. Kerjasama antara pemilik kebun dan petani dimana sang pemilik kebun menyerahkan kepada petani agar dipelihara dan hasil panennya nanti akan dibagi berdua menurut prosentase yang ditentukan pada waktu akad disebut:
a. Muzara’ah
b. Musaqah
c. Muqarabah
d. Mudharabah
e. Mukhabarh

7. Kerjasama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap dimana benih tanamannya berasal dari pemilik lahan disebut:
a. Muqarabah
b. Musaqah
c. Mukhabarah
d. Mudharabah
e. Muzara’ah

8. Jasa penitipan uang, barang, deposito, maupun surat berharga yang menjadi salah satu produk bank syari'ah disebut:
a. Musyarakah
b. Wadi'ah
c. Murabahah
d. Qardhul hasan
e. Mudhrabah
9. Suatu jenis penjualan di mana penjual sepakat dengan pembeli untuk menyediakan suatu produk, dengan ditambah jumlah keuntungan tertentu di atas biaya produksi disebut:
a. Musyarakah
b. Wadi'ah
c. Murabahah
d. Mukhabarah
e. Qardhul hasan

10. Salah satu produk bank syari'ah berupa pembiayaan lunak yang diberikan kepada nasabah yang baik dalam keadaan darurat disebut:
a. Musyarakah
b. Wadi'ah
c. Murabahah
d. Qardhul hasan
e. Mukhabarah

B. Jawablah beberapa pertanyaan di bawah ini dengan benar!
1. Apakah yang dimaksud dengan syirkah? Jelaskan!
2. Dengan siapa sajakah praktik syirkah dapat dilakukan? Sebutkan dalilnya!
3. Bagaimanakah cara pembagian hasil mudharabah?
4. Apakah perbedaan antara muzara’ah dan mukhabarah? Jelaskan!
5. Bagaimanakah sistem bunga yang berlaku dalam bank konvensional?
6. Apa perbedaan mendasar antara bank konvensional dengan bank syari'ah?
7. Sebutkan beberapa produk yang ditawarkan dalam bank syari'ah!
8. Apakah transaksi takaful itu?
9. Apa perbedaan takaful konvensional dengan takaful syari'ah? Jelaskan!
10. Sebutkan dalil Al-Qur'an untuk praktik takaful?

KERJASAMA DALAM EKONOMI ISLAM

KERJASAMA DALAM EKONOMI ISLAM

A. Syirkah
1. Pengertian dan Hukum Syirkah
Secara bahasa kata syirkah (perseroan) berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak dapat lagi dibedakan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Sedangkan menurut istilah, syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Hukum syirkah sendiri adalah mubah. Alasannya, banyak sekali orang yang telah mempraktikkan syirkah ketika Rasulullah saw diutus. Dan ternyata beliau membiarkan transaksi tersebut terus berjalan. Dengan kata lain, pengakuan (taqrir) Rasulullah saw terhadap tindakan tersebut merupakan dalil syara' tentang kemubahannya.
Nabi saw telah mengizinkan orang muslim untuk bermu'amalah secara syirkah. Hal ini sesuati dengan sabda beliau yang telah diriwayatkan Abu Hurairah ra sebagai berikut:
Dari Abi Hurairah, dia berkata, Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman, “Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang bersyirkah selama salah satu dari keduanya tidak mengkhianati rekannya yang lain. Kalau salah satunya berkhianat, maka Aku keluar dari keduanya.”
(HR. Al- Baihaqi dan ad- Daruquthni).

Imam al-Bukhiri telah meriwayatkan di dalam kitab Shahihnya bahwa Abul Minhal pernah mengatakan bahwa dia dan orang yang telah melakukan syirkah dengannya membeli suatu barang dengan cara tunai dan kredit. Kemudian al- Barra’ bin 'Azib datang menjumpai mereka. Akhirnya mereka pun bertanya kepadanya mengenai hal tersebut. Dia pun menjawab bahwa rekannya menjadi orang yang menjalin syirkah dengannya. Kemudian mereka berdua bertanya kepada Nabi saw mengenai transaksi itu. Ternyata Rasulullah saw bersabda,
Dari Utsman, yaitu bin al-Aswad, dia berkata, aku diberitahu oleh Sulaiman bin Abi Muslim,…Lantas beliau bersabda, “Barang yang (diperoleh) dengan cara tunai silakan kalian ambil. Sedangkan yang (diperoleh) dengan cara kredit, silakan kalian kembalikan.” (HR. Al- Bukhari).

Mu'amalah dengan cara syirkah boleh dilakukan antara sesama muslim ataupun antara orang Islam dengan orang non- muslim. Dengan kata lain, seorang muslim boleh melakukan syirkah dengan orang Nashrani, Yahudi atau orang non- muslim lainnya. Imam Muslim pernah meriwayatkan hadis dari 'Abdullah bin 'Umar sebagai berikut:
Dari ‘Abdillah bin ‘Umar, dari Rasulullah saw bahwa Rasulullah saw telah menyerahkan kebun kurma kepada orang- orang Yahudi Khaibar untuk digarap dengan modal harta mereka. Dan beliau mendapat setengah bagian dari hasil panennya.” (HR. Muslim).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum melakukan syirkah dengan orang Yahudi, Nashrani atau orang non- muslim yang lain adalah mubah. Hanya saja, orang muslim tidak boleh melakukan syirkah dengan orang non- muslim untuk menjual menjual barang- barang yang haram, seperti minuman keras, babi, dan benda haram lainnya. Karena bagaimanapun juga, Islam tidak membenarkan jual beli barang- barang yang haram, baik secara individu maupun secara syirkah.

2. Rukun dan Syarat Syirkah
Adapun rukun syirkah secara garis besar ada tiga, yaitu:
a. Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani). Syarat orang yang melakukan akad adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta). Sebab hak pengelolaan harta bagi orang yang tidak memiliki kecakapan berada di bawah walinya.
b. Obyek akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi yang mencakup pekerjaan atau modal. Adapun syarat pekerjaan atau benda yang dikelola dalam syirkah harus halal dan diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan. Dengan demikian, keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarik (mitra usaha).
c. Akad atau yang disebut juga dengan istilah shighat. Adapun syarat sah akad harus berupa tasharruf, yaitu adanya aktivitas pengelolaan.

3. Macam- macam Syirkah
Menurut para ulama, syirkah dibagi menjadi beberapa macam, yaitu syirkah `inan, syirkah 'abdan, syirkah wujuh, dan syirkah mufawadhah. Sekalipun demikian, ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai keabsahan jenis syirkah tersebut. Menurut ulama Malikiyah misalnya, yang sah hanya syirkah 'inan dan syirkah `abdan. Sementara menurut ulama Syifi'iyah maupun Zhahiriyah, yang sah hanya syirkah 'inan. Berikut ini akan dijelaskan masing- masing jenis syirkah yang dimaksud:
a. Syirkah 'Inan
Syirkah 'inan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing- masing memberi konstribusi kerja (amal) dan modal (mal). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil sunnah dan ijma' sahabat. Contoh syirkah 'inan: A dan B sarjana teknik komputer. A dan B sepakat menjalankan bisnis perakitan komputer dengan membuka pusat service dan penjualan komponen komputer. Masing- ¬masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp. 10 juta dan keduanya sama- ¬sama bekerja dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah jenis ini, modalnya disyaratkan harus berupa uang. Sementara barang seperti rumah atau mobil yang menjadi fasilitas tidak boleh dijadikan modal, kecuali jika barang tersebut dihitung nilainya pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada kesepakatan dan kerugian ditanggung oleh masing- masing syarik (mitra usaha) berdasarkan porsi modal. Jika masing- masing modalnya 50%, maka masing- masing menanggung kerugian sebesar 50%.
b. Syirkah Abdan
Syirkah abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing- masing hanya memberikan konstribusi kerja (amal), tanpa konstribusi modal (amal). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti penulis naskah) ataupun kerja fisik (seperti tukang batu). Syirkah ini juga disebut syirkah 'amal. Contohnya: A dan B sama-sama nelayan dan bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka juga sepakat apabila memperoleh ikan akan dijual dan hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal dan tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya berburu anjing. Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan, porsinya boleh sama atau tidak sama di antara syarik (mitra usaha).
c. Syirkah Wujuh
Disebut syirkah wujuh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak yang sama- sama memberikan konstribusi kerja (amal) dengan pihak ketiga yang memberikan konstribusi modal (mal). Dalam hal ini, pihak yang memberikan kontribusi kerja adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam mudhdrabah sehingga berlaku ketentuan- ¬ketentuan mudbdrabah padanya. Namun ada juga tipe syirkah wujuh yang melibatkan antara dua pihak atau lebih yang bersyirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit. Mereka membeli barang tersebut kepada pedagang yang percaya kepada mereka sehingga tanpa harus memberikan uang terlebih dahulu kepadanya. Contohnya: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B bersyirkah wujuh dengan cara membeli barang dari seorang pedagang secara kredit. A dan B bersepakat bahwa masing- masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua. Sementara harga pokoknya dikembalikan kepada pedagang. Syirkah wujuh tipe kedua ini keuntungannya dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing- masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujuh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah 'abdan.
d. Syirkah Mufawadhah
Syirkah Mufawadbah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas. Syirkah Mufawadbah dalam pengertian ini boleh dipraktikkan. Sebab setiap jenis syirkah yang sah berarti boleh digabungkan menjadi satu. Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal jika berupa syirkah indn, atau ditanggung pemodal saja jika berupa Mufawadbah, atau ditanggung mitra- mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki jika berupa syirkah wujuh. Contohnya: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada awalnya yang terjadi adalah syirkah 'abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing- masing bersyirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Namun ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud mudharabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing- masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inan di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujuh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada dan disebut syirkah mufawadhah.

B. Mudharabah
Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal (shahibul mal), sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola atau pengusaha (mudharib).
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, namun apabila mengalami kerugian, maka ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Kontrak bagi hasil disepakati di depan sehingga bila terjadi keuntungan, maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan kontrak bagi hasilnya adalah 60 : 40, di mana pengelola mendapatkan 60 % dari keuntungan sedang pemilik modal mendapat 40 % dari keuntungan.
Namun demikian, mudhdrabah sendiri dibagi menjadi dua, yaitu mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayadah. Mudharabah muthalaqah merupakan bentuk kerjasama antara pemilik modal dan pengelola yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Sedangkan mudharabah muthlaqah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah, yakni usaha yang akan dijalankan dengan dibatasi oleh jenis usaha, waktu, atau tempat usaha.

C. Musaqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah
1. Musaqah
Menurut ulama ahli fikih, yang dimaksud dengan musaqah adalah kerjasama antara pemilik kebun dan petani di mana sang pemilik kebun menyerahkan kepada petani agar dipelihara dan hasil panennya nanti akan dibagi dua menurut prosentase yang ditentukan pada waktu akad.
Konsep musaqah merupakan konsep kerjasama yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak (simbiosis mutualisme). Sebab tidak jarang para pemilik lahan tidak memiliki waktu luang untuk merawat perkebunannya, sementara di pihak lain ada petani yang memiliki banyak waktu luang namun tidak memiliki lahan yang bisa digarap. Dengan adanya sistem kerjasama musiqah, masing- masing pihak akan sama- sama mendapatkan manfaat.

2. Muzara’ah dan Mukhabarah
Muzara’ah adalah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari petani. Sementera mukhabarah ialah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari pemilik lahan. Muzara’ah memang sering kali diidentikkan dengan mukhabarah. Namun demikian, keduanya sebenarnya memiliki sedikit perbedaan. Apabila muzara’ah, maka benihnya berasal dari petani penggarap, sedangkan mukhabarah benihnya berasal dari pemilik lahan.
Muzara’ah dan Mukhabarah merupakan bentuk kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap yang sudah dikenal sejak masa Rasulullah saw. Dalam hal ini pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan pembagian prosentase tertentu dari hasil panen. Di Indonesia, khususnya di kawasan pedesaan, kedua model penggarapan tanah itu sama- sama dipraktikkan oleh masyarakat petani. Landasan syari'ahnya terdapat dalam hadis dan ijma' ulama.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim diterangkan bahwa Rasulullah saw pernah menyewakan tanah kepada penduduk Khaibar dengan perjanjian separuh hasilnya untuk pemilik tanah. Hadits ini telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat, di antaranya Ibnu `Umar, Ibnu 'Abbas dan Jabir bin ‘Abdillah. Riwayat hadis inilah yang dijadikan landasan oleh ulama yang membolehkan praktik muzara’ah dan mukhabarah. Menurut mereka, muzara’ah dan mukhabarah merupakan perkara yang baik dan juga dikerjakan oleh Rasulullah saw sampai beliau meninggal dunia. Praktik kerjasama tersebut juga dilanjutkan oleh Khulafa’ur Rasyidin sampai mereka meninggal dunia dan setelah itu diikuti oleh generasi sesudahnya.

D. Perbankan
Bank adalah sebuah lembaga keuangan yang bergerak dalam menghimpun dana masyarakat dan disalurkannya kembali dengan menggunakan sistem bunga. Dengan demikian, hakikat dan tujuan bank ialah untuk membantu masyarakat yang memerlukan, baik dalam menyimpan maupun meminjamkan, balk berupa uang atau barang berharga lainnya dengan imbalan bunga yang harus dibayarkan oleh masyarakat pengguna jasa bank.
Bank dilihat dari segi penerapan bunganya, dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:
1. Bank Konvensional, yaitu bank yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan, baik perorangan maupun badan usaha, guna mengembangkan usahanya dengan menggunakan sistem bunga.
2. Bank Islam atau Bank Syari'ah, yaitu bank yang menjalankan operasinya menurut syari'at Islam. Istilah bunga yang ada pada bank konvensional tidak ada dalam bank Islam. Bank syari'ah menggunakan beberapa cara yang bersih dari riba, misalnya:
a. Mudharabah, yaitu kerjasama antara pemilik modal dan pelaku usaha dengan perjanjian bagi hasil dan sama-sama menanggung kerugian dengan prosentase sesuai perjanjian. Dalam sistem mudhdrabah, pihak bank sama sekali tidak mengintervensi manajemen perusahaan.
b. Musyarakah, yakni kerjasama antara pihak bank dan pengusahan di mana masing- masing sama- sama memiliki saham. Oleh karena itu, kedua belah pihak mengelola usahanya secara bersama- sama dan menanggung untung ruginya secara bersama- sama pula.
c. Wadi’ah, yakni jasa penitipan uang, barang, deposito, maupun surat berharga. Amanah dari pihak nasabah berupa uang atau barang titipan yang telah disebutkan di atas dipelihara dengan baik oleh pihak bank. Pihak bank juga memiliki hak untuk menggunakan dana yang dititipkan dan menjamin bisa mengembalikan dana tersebut sewaktu- waktu pemiliknya memerlukan.
d. Qardhul hasan, yakni pembiayaan lunak yang diberikan kepada nasabah yang baik dalam keadaan darurat. Nasabah hanya diwajibkan mengembalikan simpanan pokok pada saat jatuh tempo. Biasanya layanan ini hanya diberikan untuk nasabah yang memiliki deposito di bank tersebut, sehingga menjadi wujud penghargaan bank kepada nasabahnya.
e. Murabahah, yaitu suatu istilah dalam fikih Islam yang menggambarkan suatu jenis penjualan di mana penjual sepakat dengan pembeli untuk menyediakan suatu produk, dengan ditambah jumlah keuntungan tertentu di atas biaya produksi. Di sini, penjual mengungkapkan biaya sesungguhnya yang dikeluarkan dan berapa keuntungan yang hendak diambilnya. Pembayaran dapat dilakukan saat penyerahan barang atau ditetapkan pada tanggal tertentu yang disepakati. Dalam hal ini, bank membelikan atau menyedia¬kan barang yang diperlukan pengusaha untuk dijual lagi dan bank meminta tambahan harga atas harga pembeliannya. Namun demikian, pihak bank harus secara jujur menginformasikan harga pembelian yang sebenarnya.

Kelebihan bank syari'ah dibandingkan bank konvensional terletak pada sistem bagi hasil. Dalam bank syari'ah, pihak pemberi modal dan peminjam menanggung bersama resiko laba ataupun rugi. Hal ini membuat kekayaan tidak hanya beredar pada satu golongan, akan tetapi terjadi proses penyebaran modal yang pada akhirnya terwujud pemerataan keuntungan. Berbeda dengan bank konvensional yang hanya memprioritaskan penumpukan keuntungan pada pemilik modal. Dengan demikian, akan tercipta kesenjangan antara si kaya dan si miskin.
Bank Islam juga bersifat mandiri dan tidak terpengaruh secara langsung oleh gejolak moneter, baik dalam negeri maupun internasional. Kegiatan operasional bank syari’ah tidak menggunakan bunga. Oleh karena itu bank system ini tidak berdampak inflasi, mendorong investasi, mendorong pembukaan lapangan kerja baru dan pemerataan pendapatan. Persaingan diantara bank Islam pun tidak saling mematikan, tetapi saling menghidupi. Bentuk persaingan antara bank Islam adalah lomba- lomba untuk lebih tinggi dari yang lain dalam memberikan porsi bagi hasil kepada nasabah.

E. Asuransi (Takaful)
Asuransi dalam ajaran Islam merupakan salah satu upaya seorang muslim yang didasarkan nilai tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya setiap jiwa tidak memiliki daya apapun ketika menerima musibah dari Allah swt, baik berupa kematian, kecelakaan, bencana alam maupun takdir buruk yang lain. Untuk menghadapi berbagai musibah tersebut, ada beberapa cara untuk menghadapinya. Pertama dengan menanggungnya sendiri. Kedua, mengalihkan resiko ke pihak lain. Dan ketiga, mengelolanya bersama- sama.
Dalam ajaran Islam, musibah bukanlah permasalahan individual, melainkan masalah kelompok walaupun musibah ini hanya menimpa individu tertentu. Apalagi apabila musibah itu mengenai masyarakat luas seperti gempa bumi atau banjir. Berdasarkan ajaran inilah tujuan asuransi sangat sesuai dengan semangat ajaran tersebut.
Allah SWT swt menegaskan hal ini dalam beberapa ayat, diantaranya yang terdapat dalam Surah al-Maidah berikut ini:

Artinya :
“Dan tolong- menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” QS. Al- Maidah/ 5: 2.
Banyak pula hadis Rasulullah saw yang memerintahkan umat Islam untuk saling melindungi saudaranya dalam menghadapi kesusahan. Berdasarkan ayat Al- Qur'an dan riwayat hadis dapat dipahami bahwa musibah ataupun resiko kerugian akibat musibah wajib ditanggung bersama. Bukan setiap individu menanggungnya sendiri¬sendiri dan tidak pula dialihkan ke pihak lain. Prinsip menanggung musibah secara bersama-sama inilah yang sesungguhnya esensi dari asuransi syari'ah.
Tentu saja prinsip tersebut berbeda dengan yang berlaku di sistem asuransi konvensional, yang menggunakan prinsip transfer resiko. Seseorang membayar sejumlah premi untuk mengalihkan risiko yang tidak mampu dia pikul kepada perusahaan asuransi. Dengan kata lain, telah terjadi 'jual beli' atas risiko kerugian yang belum pasti terjadi. Di sinilah cacat perjanjian asuransi konvensional. Sebab akad dalam Islam mensyaratkan adanya sesuatu yang bersifat pasti, apakah itu berbentuk barang ataupun jasa.
Perbedaan yang lain, pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, di mana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi ketika ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo. Dalam konsep asuransi syari'ah, mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun, lantas karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, maka dana atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian kecil saja yang sudah diniatkan untuk dana tabarru' (sumbangan) yang tidak dapat diambil.
Setidaknya, ada manfaat yang bisa diambil kaum muslimin dengan terlibat dalam asuransi syari'ah, di antaranya bisa menjadi alternatif perlindungan yang sesuai dengan hukum Islam. Produk ini juga bisa menjadi pilihan bagi pemeluk agama lain yang memandang konsep syari'ah lebih adil bagi mereka. Karena syari'ah merupakan sebuah prinsip yang bersifat universal.

LATIHAN SOAL ANJURAN BERTOLERANSI

Uji Kompetensi
A. Berilah tanda silang (x) pada salah satu jawaban yang benar di bawah ini!
1. Jika ada huruf mim sukun jatuh setelah huruf ain, maka hukum bacaannya adalah :
a. Izhar Syafawi
b. Idgham Bila Ghunnah
c. Mad Iwadh
d. Idgham Mitslain
e. Mad Shilah Qashirah

2. Dalam lafazh terkandung hukum bacaan :
a. Mad Aridh lis sukun dan Mad Thabi’i
b. Mad Iwadh dan Mad Badal
c. Mad Badal dan mad Thabi’i
d. Mad Shilah Qashirah
e. Mad Shilah Thawilah

3. Dalam lafazh terkandung hukum bacaan :
a. Gunnnah dan idgham Mitslain
b. Idgham Bila Ghunnah
c. Mad Shilah Qashirah
d. Ghunnah dan Mad Thabii
e. Idgham Syamsi

4. Dalam lafazh terkandung hukum bacaan :
a. Iglab d. Idgham Syamsi
b. Izhar Qamari e. Mad Wajib Muttashil
c. Mad Wajib Muttashil

5. Makna frasa adalah :
a. Orang- orang yang beriman kepadanya
b. Orang- orang yang tidak beriman kepada Al- Qur’an
c. Diantara mereka
d. Jika mereka mendustakan kamu
e. Dan akupun berlepas diri

6. Makna frasa adalah :
a. Bagimu pekerjaanmu d. Kamu berlepas diri
b. Dan akupun berlepas diri e. Bagiku pekerjaanku
c. Di antara mereka

7. Makna frasa adalah :
a. Bagimu pekerjaanmu d. Kamu berlepas diri
b. Tuhanmu lebih mengetahui e. Bagiku pekerjaanku
c. Mereka telah dibinasakan

8. Makna kata adalah :
a. Berada dalam keraguan
b. Karena kedengkian antara mereka
c. Kamu berlepas diri
d. Gejolaknya
e. Mereka telah dibinasakan

9. Makna frasa adalah :
a. Karena kedengkian antara mereka
b. Yang menghanguskan muka
c. Pastilah mereka telah dibinasakan
d. Orang- orang yang diwariskan kepada mereka
e. Berada dalam keraguan

10. Makna frasa adalah :
a. Kalau tidaklah karena sesuatu ketetapan yang telah ada
b. Sampai kepada waktu yang ditentukan
c. Datangnya pengetahuan kepada mereka
d. Biarlah dia kafir
e. Pastilah mereka telah dibinasakan
B. Jawablah beberapa pertanyaan di bawah ini dengan benar!
1. Bagaimanakah perbedaan yang terjadi bisa mendatangkan mashlahat dan rahmat? Jelaskan!
2. Mengapa perbedaan pada hakikatnya merupakan ujian dari Allah? Jelaskan!
3. Sebutkan macam- macam perbedaan secara garis besar!
4. Bagaimanakah sikap Rasulullah dalam menyikapi perbedaan pendapat di kalangan sahabatnya?
5. Jenis perbedaan bagaimanakah yang diperbolehkan di dalam Islam? Jelaskan

ANJURAN BERTOLERANSI

ANJURAN BERTOLERANSI
A. Toleransi dalam Islam
1. Bacalah Q.S. al-Kafirun/ 109 : 1 - 6 di bawah ini dengan tartil secara kolektif dengan dipimpin salah seorang dari kalian! Setelah itu salinlah ayat tersebut dengan baik dan benar di rumah kalian!

4. Terjemah Ayat QS Al- Kafirun :1 - 6
1. Katakanlah: "Hai orang-orang kafir,
2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
3. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah.
4. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
5. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah.
6. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."

5. Penjelasan Ayat
Dalam keterangan ayat di atas telah dipaparkan bahwa setiap manusia harus memegang teguh keyakinan agamanya tanpa harus menjelekkan keyakinan agama orang lain. Di sinilah letak pembuktian rasa iman seorang muslim atas keyakinan agama yang dia anut. Hal ini sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw, di mana beliau dengan teguh telah mempertahankan kemurnian ajaran tauhid ketika diajak kompromi oleh orang- orang kafir Quraisy dalam hal peribadatan.
Memang benar Islam mengajarkan toleransi dan memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk memeluk agama. Allah swt sendiri dalam Al-Qur'an telah berfirman dalam QS Al Baqarah : 256


Artinya :
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.

Dalam penjelasan ayat di atas semakin tegas bahwa manusia sebagai satu-satunya makhluk Allah yang dikaruniai akal telah diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya, termasuk pilihan untuk memeluk suatu keyakinan agama. Allah telah memberikan pilihan antara yang benar dan yang bathil. Maka dengan akal pikiran itulah manusia bebas memilih, namun dia memiliki konseksuensi untuk mempertanggungjawabkannya kelak di mata Allah. Dalam ayat yang lain Allah swt berfirman QS Yunus : 99

Artinya :
Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?

Dengan memberikan kebebasan untuk memilih sebuah keyakinan, bukan berarti Allah mengizinkan seseorang untuk bebas mencampuradukkan ajaran antar agama. Konsep toleransi yang benar menurut Islam adalah semua penganut hendaknya menghormati hak kebebasan penganut agama lain untuk mengamalkan kepercayaan¬nya masing- masing. Prinsip toleransi seperti inilah yang dikehendaki Islam dan justru menunjukkan keistimewaan ajaran Islam itu sendiri sebagai agama yang toleran.

B. Menyikapi Perbedaan Pendapat
1. Bacalah Q.S. Yunus/ 10 : 40 - 41 di bawah ini dengan tartil secara kolektif dengan dipimpin salah seorang dari kalian! Setelah itu salinlah ayat tersebut dengan baik dan benar di rumah kalian!

4. Terjemah Ayat QS Yunus/ 10 : 40 – 41
40. Di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepada Al Quran, dan di antaranya ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan.
41. Jika mereka mendustakan kamu, Maka Katakanlah: "Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. kamu berlepas diri terhadap apa yang Aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan".

5. Penjelasan Ayat
Perbedaan di muka bumi ini merupakan sebuah keniscayaan. Karena membuat keseragaman, baik warna, tradisi, atau bahkan pendapat merupakan sesuatu yang mustahil. Yang terpenting bagi umat muslim adalah bagaimana cara menyikapi keberagaman tersebut. Dengan keikhlasan, lapang dada dan perasangka yang baik, segala bentuk perbedaan akan mendatangkan maslahat dan rahmat. Hal ini sebagaimana sikap yang telah dicontohkan para ulama terdahulu.
Para ulama memberikan suri tauladan berupa sikap lapang dada dengan tidak memaksa siapapun untuk mengikuti pemahamannya. Mereka menganggap bahwa berbagai bentuk pemaksaan justru menimbulkan permusuhan dan kehancuran. Walaupun menganggap pendapatnya benar, namun mereka tetap menghormati pendapat kelompok lain yang berbeda.
Sikap egois yang menempatkan dirinya sebagai pihak yang paling benar dan sekaligus menganggap pihak lain sebagai kelompok yang salah sangat tidak sesuai dengan ajaran Islam. Jelas sikap seperti ini hanya akan menimbulkan kehancuran dalam umat Islam. Bukan hanya permusuhan, akan tetapi lebih jauh lagi akan menimbulkan perpecahan. Pada saat itulah umat Islam menjadi lemah dan akan menjadi bulan- bulanan umat lain yang dengki terhadap Islam.
Perbedaan pada hakikatnya merupakan ujian dari Allah swt. Allah sendiri telah berfirman :

Artinya :
Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab- kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu[422], kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu, (QS. Al- Maidah : 48)

Perbedaan yang dibenarkan dalam Islam pada dasarnya bukan untuk saling bermusuhan apalagi mematikan pihak lain, namun untuk saling melengkapi dan saling memberikan semangat. Justru dengan adanya perbedaan bisa menjadi motivator untuk menghadapi ujian, cobaan, kesulitan, dan berkompetisi dalam berkarya maupun berkreasi di antara pihak- pihak yang berbeda. Tanpa adanya perbedaan, seseorang tidak akan tertantang untuk lebih berprestasi. Penyikapan yang benar teradap perbedaan akan mengantarkan umat Islam menjadi umat yang kuat.

C. Prinsip- prinsip Toleransi
1. Bacalah Q.S. al-Kahf/ 18 : 29 di bawah ini dengan tartil secara kolektif dengan dipimpin salah seorang dari kalian! Setelah itu salinlah ayat tersebut dengan baik dan benar di rumah kalian!

Artinya :
Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. QS. Al Kahfi : 29

5. Penjelasan Ayat
Prinsip toleransi yang diajarkan Islam adalah menghargai pilihan yang dianut orang lain. Di muka bumi ini akan selalu terjadi perbedaan, di mana ada orang yang iman dan ada pula yang kafir. Namun demikian, perbedaan itu hendaklah tidak dijadikan sebagai sumber masalah. Sebab dengan mengembangkan sikap toleran, perbedaan itupun bisa berubah menjadi keindahan.
Kita tidak akan dapat mengetahui putih jika tidak pernah ada hitam, merah, hijau atau warna lainnya. Kita tidak akan dapat bekerja dengan baik jika jari- jari tangan kita memiliki ukuran dan bentuk yang sama, misalnya semuanya berbentuk telunjuk. Begitu juga kita akan kesulitan mengunyah makanan jika bentuk gigi kita semuanya sama, misalnya berbentuk taring semuanya. Demikanlah harmoni kehidupan, alam semesta menjadi indah ketika mengalami perbedaan, baik dari segi wujud maupun fungsinya.
Perbedaan justru akan menimbulkan mashlahat bagi umat manusia. Perbedaan baru akan berubah menjadi masalah ketika umat manusia tidak bisa menyikapinya dengan arif dan bijaksana. Bahkan Allah pun sengaja menciptakan perbedaan keyakinan umat manusia. Sebab kalau mau, niscaya Allah menjadikan umat ini satu dan beriman kepada-Nya. Allah swt berfirman,

Artinya :
118. Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat,
119. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) Telah ditetapkan: Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.

Secara garis besar, ada beberapa macam perbedaan yang terjadi dalam urusan kehidupan manusia sebagai makhluk hidup dan hamba Allah swt:
1. Perbedaan Ushuliyyah (prinsipil).
Perbedaan inilah yang menghasilkan perbedaan keyakinan atau agama. Untuk masalah inilah Allah mengutus para nabi dan rasul untuk meluruskan keyakinan yang tidak sesuai dengan ajaran tauhid.
2. Perbedaan pada masalah Furuiyyah (cabang).
Perbedaan ini muncul pada masalah- masalah yang tidak prinsip dan hanya berbeda dalam tataran metode penerapannya saja. Perbedaan apapun yang muncul dalam masalah ini harus disikapi secara arif dan ddak menggunakan kekerasan kedka terjadi perselisihan pendapat.

Rasulullah saw menyikap perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan sahabat dengan memberikan pembenaran pada masing- masing pihak selama masalahnya hanya furuyyah. Misalnya perbedaan antara dua kelompok sahabat yang diutus ke Bani Quraidhah. Salah satu di antara mereka menunaikan salat Ashar di tengah perjalanan dan yang lain menunaikan salat menunggu sampai dba di tempat tujuan, yakni setelah lewat waktu Ashar. Begitu juga sikap Nabi terhadap dua sahabat yang berbeda pendapat tentang salat dengan tayammum karena tidak ada air, kemudian sebelum habis waktu salat, mendapad air. Ada yang mengulang salatnya dan ada yang tidak mengulang. Demikianlah ajaran Islam yang mengajarkan bagaimana menyikapi adanya perbedaan pendapat.

LATIHAN SOAL ETOS KERJA

Uji Kompetensi
A. Berilah tanda silang (x) pada salah satu jawaban yang benar di bawah ini!
1. Apabila ada huruf hamzah berada sebelum huruf mad dalam satu kata, maka hukum bacaannya adalah :
a. Mad Thabii d. Idgham Qamari
b. Mad Badal e. Idgham Syafawi
c. Idgham Syamsi

2. Apabila ada mim sukun bertemu dengan huruf zha,maka hukum bacaannya adalah :
a. Izhar Syafawi d. Ikhfa
b. Idgham Syafawi e. Idgham Syamsi
c. Idgham Bila Ghunnah

3. Apabila ada nun sukun bertemu huruf lam, maka hukum bacaannya adalah :
a. Ghunnah d. Ikhfa
b. Idgham Mitslain e. Idgham Bi Ghunnah
c. Idgham Bila Ghunnah

4. Panjang bacaan mad badal adalah :
a. Dua harakat d. Empat alif
b. Dua alif e. Lima harakat
c. Empat harakat

5. Makna adalah :
a. Bagi para wanita ada bagian
b. Dan mohonlah kepada Allah SWT
c. Allah SWT akan meninggikan
d. Bagi orang laki- laki ada bagian
e. Maka lapangkanlah

6. Makna frasa adalah :
a. Bagi para wanita ada bagian
b. Maka lapangkanlah
c. Bagi orang laki- laki ada bagian
d. Dan mohonlah kepada Allah SWT
e. Karena kedengkian antara mereka

7. Makna frasa adalah :
a. Dan ingatlah Allah SWT banyak- banyak
b. Segala sesuatu
c. Karena kedengkian antara mereka
d. Maha Mengetahui
e. Maka lapangkanlah

8. Makna frasa adalah :
a. Maha mengetahui
b. Segala sesuatu
c. Kedengkian antara mereka
d. Maka lapangkanlah
e. Lebih baik bagimu

9. Makna kata adalah :
a. Dikatakan kepadamu
b. Supaya menyembah
c. Berlapang- lapanglah
d. Mereka tidak disuruh
e. Kedengkian antara mereka

10. Makna kata adalah :
a. Memurnikan ketaatan
b. Berlapang- lapanglah
c. Dengan lurus
d. Memebri kelapangan
e. Berdirilah kamu


B. Jawablab beberapa pertanyaan di bawah ini dengan benar!
1. Apakah bentuk penghargaan Allah bagi orang yang beriman sekaligus berilmu?
2. Bagaimanakah posisi orang-orang yang beriman dan berilmu di sisi Allah? jelaskan!
3. Apakah tujuan Islam memerintah penganutnya untuk melakukan kerja keras?
4. Bagaimanakah hubungan ibadah yang bersifat sakral dengan pekerjaan yang bersifat duniawi dalam ajaran Islam? Jelaskan!
5. Bagaimanakah pendapatmu tentang ajaran yang membedakan antara ibadah kepada Allah dengan pekerjaan duniawi? Jelaskan!